Selasa, 26 Februari 2013 | 10:47 WIB
KONTAN
Pulang ke kampung halaman bukan berarti hilang kesempatan untuk meraih sukses. Mery Yani telah membuktikannya. Hanya butuh waktu empat tahun, perempuan 29 tahun ini berhasil melambungkan usaha telur asin hingga beromzet ratusan juta rupiah per bulan.
Kecintaan pada sang ibu yang terbaring sakit mendorong Mery Yani kembali ke Karawang pada 2005 silam. Padahal, di Jakarta, Mery tengah membangun karier sebagai akuntan di sebuah perusahaan impor.
Hingga akhirnya, ibunda berpulang pada 2007. Mery pun memutuskan untuk menetap di kota kelahirannya, sambil membantu sang ayah membuat pakan ternak dari dedak padi.
Belum surut kesedihannya, ia harus menghadapi kenyataan usaha telur asin milik sang kakak yang kian terpuruk. Mery memang sangat peduli akan usaha telur asin ini. “Telur asin merupakan penyokong hidup saya sejak masih sekolah dulu,” kenangnya. Ia pun tak bisa tinggal diam saat melihat usaha ini terancam tutup karena penjualan terus menyusut.
Beruntung, Mery pernah punya pengalaman menjajakan telur asin dari satu kios ke kios lain di pasar tradisional, semasa sekolah dulu. Berbekal pengalaman itu, ia pun memberanikan diri mengambil alih usaha sang kakak sejak November 2008. Sebagian uang klaim asuransi jiwa mendiang ibu pun menjadi modal awal usahanya.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini mengawali langkahnya dengan memperkaya pengetahuan soal telur asin, baik dari buku maupun bertanya pada beberapa pengusaha yang lebih dulu terjun di bidang ini. Dari sana, Mery menyusun sebuah peta perencanaan usaha lengkap dengan standar kualitas telur, cara pemasaran, dan sistem manajerial karyawan.
Untuk memenuhi standar kualitas telur, Mery menjalin mitra dengan peternak telur bebek di sekitar Karawang. Ia memberi modal, baik berupa bibit bebek atau uang untuk membeli pakan. Tentu saja, para mitra itu nanti harus menyetor telur bebek ke usaha telur asin milik Mery.
Dalam proses pengasinan pun, lulusan Universitas Tarumanegara ini menggunakan bahan-bahan pilihan. Abu yang digunakan adalah abu hitam yang berasal dari sekam padi yang telah dibakar dan terjamin kebersihannya. Abu itu berasal dari lahan pertanian di sekitar Karawang.
Tak hanya membenahi pasok-an telur dan proses pengasinan, Mery juga mencermati pasar telur asin yang mengenal musim sepi. Nah, di saat pasar sedang sepi, lantaran pasokan telur asin berkurang, Mery segera memasok telur asin buatannya dalam jumlah besar.
Lolos sertifikasi
Sebagai pemain baru, tentu, situasi itu sangat menguntungkan. Bukan hanya soal fulus, cara tersebut juga berhasil mendongkrak merek telur asinnya, Sumber Telur Kilau. Alhasil, setelah merek telurnya banyak dikenal, penjualan Mery pun meningkat.
Dalam tempo setahun, Mery berhasil menggenjot penjualan hingga 1.500 butir per hari. Tak hanya itu, ia pun berhasil mengembalikan modal usahanya.
Sayang, saat penjualan meningkat, ia kembali berhadapan dengan masalah. Ia mendapati beberapa mitra yang ingkar menjual telur bebek untuk pabriknya. “Saya harus sabar mencari mitra lain,” ujar Mery.
Untuk menjaga agar pasokan telur bebek tetap stabil, Mery pun membangun peternakan sendiri. Di peternakan tersebut, Mery memiliki 1.500 ekor bebek yang diangon di sekitar Karawang dan Garut.
Ia juga terus meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produknya. Pada 2010, Mery mendaftarkan telur produksinya ke Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk memperoleh sertifikasi kualitas gizi. Setiap produksi, telur-telur hasil peternakan Mery dan mitranya harus melalui beberapa tahap pengujian. Tahapan tersebut meliputi pencucian telur, pengujian dari segi bentuk dan tingkat keretakan, penyemprotan cairan antibakteri, serta uji laboratorium.
Kegigihan Mery mengemas ulang usahanya itu berbuah manis. Hingga saat ini penjualan telur asin cap Sumber Telur sudah menjangkau beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jabodetabek, Kalimantan, Bangka Belitung, dan Lampung. Dalam kegiatan pemasaran, Mery mendapat dukungan lebih dari 50 distributor sesuai standar distributor ala Mery. “Mereka harus tahu kemauan konsumen, yang asin banget atau enggak terlalu asin. Distributor harus kenal betul dulu produknya,” terangnya.
Berkat berbagai standar ini, telur asin Mery bisa terjual 10.000 hingga 15.000 ribu butir telur per hari. Dengan harga jual berkisar Rp 1.700–Rp 2.500 per butir, setiap bulannya Merry telah dapat meraup omzet lebih dari Rp 300 juta.
Selain menyelamatkan usaha yang hampir bangkrut, Mery juga berhasil membuka lapangan kerja. Karyawannya telah berlipat, dari hanya empat orang pada awalnya, kini telah mencapai 30 orang. (Meylisa Badriyani/Kontan)
Editor :
Erlangga Djumena
0 komentar:
Posting Komentar