Sejumlah petugas mengawasi
beroperasinya delapan unit mesin pembangkit listrik dengan total
kapasitas terpasang 10,5 megawatt di areal Tempat Pembuangan Sampah
Akhir Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, beberapa pekan lalu.
Aliran listrik itu masuk ke sistem kelistrikan Jawa dan Bali yang
dikelola PT Perusahaan Listrik Negara. Nantinya, listrik yang dialirkan
itu mencapai 26 megawatt.
okasi kedelapan unit mesin
pembangkit listrik itu tidak jauh dari tumpukan sampah setinggi 20
meter. Meski sampah menggunung, tidak tercium aroma busuk yang menyengat
di lokasi tersebut. Bagian atas timbunan sampah dilapisi tanah dan
tertutup rapat oleh terpal plastik berwarna hitam agar hampa oksigen.
Dalam
proses fermentasi itu, sampah organik membusuk dan menghasilkan gas
metana. Kemudian, gas metana disaring dari kotoran padat yang dikandung
dan suhu distabilkan sesuai dengan spesifikasi mesin pembangkit. Gas
metana yang dihasilkan ”bukit” sampah itu dialirkan melalui pipa untuk
mengoperasikan mesin-mesin pembangkit listrik di areal tempat pembuangan
sampah tersebut.
Dengan memanfaatkan sampah untuk menghasilkan
listrik, hal ini sekaligus mengatasi persoalan sampah di kota-kota
besar. Produksi sampah naik, sementara pengolahannya tidak maksimal.
Akibatnya, sampah menggunung dan tidak terurus. Selain menimbulkan bau
tak sedap, sampah juga mengganggu keindahan, mencemari air dan tanah,
serta dapat menjadi sumber penularan penyakit.
Di sejumlah
daerah, pemerintah sulit mencari lahan tempat pembuangan sampah. Bahkan,
sampah longsor dan menelan korban jiwa sebagaimana terjadi di TPA Leuwi
Gajah, Bandung. ”Dengan mengolah sampah jadi listrik, dua masalah
teratasi, yakni pencemaran lingkungan dan keterbatasan bahan bakar
fosil,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi
Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kardaya
Warnika.
Di Indonesia, baru TPA Bantar Gebang, Bekasi, dan
Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan
yang merintis penerapan teknologi yang mengintegrasikan pengolahan
sampah terpadu. Jadi, sampah yang ada didaur ulang lalu dimanfaatkan
komposnya dan juga dikelola menjadi energi listrik.
Proyek
pengolahan sampah di TPA Bantar Gebang diserahkan Pemerintah Provinsi
(Pemprov ) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta kepada dua pemenang
tender, yakni PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy, pada
Desember 2008 dengan mekanisme sewa-beli selama 15 tahun dan nilai
investasi Rp 700 miliar. Setelah masa kontrak berakhir, semua fasilitas
yang dibangun investor menjadi milik Pemprov DKI Jakarta.
Selama
masa kontrak itu, pengelola harus menerapkan beberapa teknologi
pengelolaan sampah, yakni penumpukan sampah dengan metode berlapis,
pemilahan sampah organik dan non-organik dengan menumpuk dalam bangunan
fasilitas daur ulang material, serta metode pemanasan sampah.
Menurut
Wakil Direktur PT Navigat Organic Energy Indonesia Budiman Simadjaja,
kegiatan usaha itu masih merugi karena daya listrik yang dihasilkan
relatif kecil. Selain itu, harga jual listrik ke PLN hanya Rp 820 per
kilowatt hour (kWh). ”Baru untung kalau daya listrik meningkat,”
ujarnya.
Dalam pengelolaan TPA Bantar Gebang, sedikitnya 500
karyawan dipekerjakan dan sebagian besar merupakan warga setempat.
Adapun ribuan pemulung di tempat pembuangan sampah dibiarkan
mengumpulkan sampah di titik akhir pembuangan sebelum timbunan sampah
itu diolah. ”Kami berusaha tidak mengganggu aktivitas para pemulung,”
kata Budiman
Komitmen rendah
Pembangunan
pembangkit listrik yang menggunakan sampah ini bisa dikembangkan di
setiap kota besar. Penutupan tempat pembuangan sampah terbuka telah
diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah. Saat ini, hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia
menggunakan tempat pembuangan sampah terbuka. Namun, sejauh ini belum
ada langkah dan program nyata yang dilaksanakan pemerintah daerah.
Padahal,
menurut data Kementerian ESDM, secara nasional biomassa berpotensi
menghasilkan listrik 49.810 MW, termasuk dari sampah kota. Saat ini,
kapasitas terpasang untuk biomassa baru sebanyak 445 MW atau 0,89 persen
dari total potensi tenaga listrik energi ramah lingkungan itu. Khusus
untuk biogas dari sampah, dari 38 kota dan kabupaten di Indonesia,
potensi listrik diperkirakan mencapai 236 MW.
Wakil Ketua
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Djoko Winarno memaparkan, kendala
utama rendahnya pemanfaatan sampah organik untuk tenaga listrik adalah
tingginya biaya investasi untuk mengumpulkan sampah, memilah antara
sampah organik dan non-organik, mengolah sampah organik menjadi biogas,
serta membangun pembangkit listrik tenaga sampah.
Rendahnya harga
jual listrik dari pembangkit listrik tenaga sampah mengakibatkan biaya
investasi sulit kembali, terutama jika memakai teknologi gasifikasi.
Harga keekonomian listrik dari sampah itu di atas Rp 1.000 per kWh,
sedangkan saat ini harganya baru Rp 820 per kWh. ”Jika harga jual
listrik terlalu rendah, investor akan enggan berinvestasi dalam bisnis
pengolahan sampah,” ujarnya.
Apalagi, pengolahan sampah untuk
tenaga listrik itu berisiko tinggi, menimbulkan konflik sosial dengan
warga sekitar yang terganggu oleh hilir mudiknya truk pengangkut sampah
dan aroma busuk sampah. Para pemulung juga merasa terancam sumber
nafkahnya dengan adanya kegiatan pengolahan sampah.
Selain itu,
sebagian besar pemerintah daerah juga tidak mengalokasikan dana
pengelolaan sampah yang memadai. Agar sampah bisa dikelola dengan baik,
idealnya biaya pengelolaan sampah di atas Rp 200.000 per ton.
Kenyataannya, sebagian daerah hanya berani mengalokasikan dana Rp 30.000
sampai Rp 40.000 per ton, bahkan banyak daerah tidak mengalokasikan
biaya pengelolaan sampah.
Sejauh ini, baru Pemprov DKI Jakarta
yang mengalokasikan dana Rp 103.000 per ton untuk pengelolaan sampah,
dan 20 persen di antaranya masuk ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai
kompensasi pemakaian lahan di Bekasi untuk TPA. Adapun volume sampah di
Jakarta sekitar 6.000 ton per hari. ”Untuk mengembalikan modal, kami
memproduksi kompos dan pihak Navigat memproduksi biogas untuk tenaga
listrik,” kata Wakil Direktur PT Godang Tua Jaya, Linggom Lumban Toruan.
Direktur Eksekutif Lembaga Reformasi Pelayanan Dasar Fabby
Tumiwa menambahkan, pemanfaatan listrik dari sampah juga terkendala
buruknya sistem pengumpulan sampah di banyak kota. Berdasarkan survei
yang dilakukan lembaganya, jumlah sampah yang diproduksi dan dibawa ke
TPA di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya 15 persen dari
total volume sampah. ”Banyak sampah rumah tangga yang dibuang
sembarangan atau dibakar,” ujarnya.
”Kondisi sebagian besar TPA
tidak memenuhi standar penerapan teknologi pengolahan sampah. Volume
sampah yang dibuang juga melebihi kapasitas TPA dan bercampur antara
sampah organik dan non-organik,” ujarnya. Jadi, kalau ada pelaku usaha
yang hendak berinvestasi dalam bidang pengolahan sampah, dia harus
menambah biaya untuk menata ulang TPA.
Insentif harga
Untuk
menarik minat investor, pemerintah baru menerbitkan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 4 Tahun 2012 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT
PLN dari pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan skala
kecil dan menengah atau kelebihan tenaga listrik. Aturan pelaksanaan itu
juga memuat tentang harga jual listrik dari pembangkit listrik berbasis
sampah kota.
Dalam aturan tersebut, harga jual listrik dengan
kapasitas hingga 10 MW, apabila berbasis sampah kota dengan teknologi
”sanitary landfill”, ditetapkan Rp 850 per kWh jika terinterkoneksi
pada tegangan menengah dan Rp 1.198 per kWh jika terinterkoneksi pada
tegangan rendah. ”Sanitary landfill” merupakan teknologi pengolahan
sampah dalam kawasan tertentu yang terisolasi sampai aman untuk
lingkungan.
Sementara harga jual listrik berbasis sampah kota
menggunakan teknologi ”zero waste” ditetapkan Rp 1.050 per kWh jika
terinterkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.398 per kWh jika
terinterkoneksi pada tegangan menengah. ”Zero waste” merupakan teknologi
pengelolaan sampah sehingga terjadi penurunan volume sampah yang
signifikan melalui proses terintegrasi dengan gasifikasi atau
insinerator dan anaerob.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan PT PLN Mohamad Sofyan mengatakan, pihaknya mendukung penetapan harga listrik berbasis
biomassa dan sampah kota oleh pemerintah. Apalagi, saat ini biaya
penyediaan listrik jika memakai bahan bakar minyak Rp 2.300 per kWh.
Selama ini, penetapan harga listrik berbasis biomassa berdasarkan
negosiasi bisnis. Harga jual listrik di TPSA Bantar Gebang, misalnya,
baru Rp 820 per kWh.
Sejumlah pemerintah daerah mulai menjajaki
kerja sama dengan pelaku usaha pengolahan sampah untuk mengantisipasi
pemberlakuan UU tentang pengolahan sampah. Studi mengenai potensi tenaga
listrik berbasis biogas dari sampah dilaksanakan di Bandung, Jawa
Barat, dan Surabaya, Jawa Timur. Pemerintah Kota Surabaya, misalnya,
berencana mengolah sampah di TPA Benowo dengan volume sampah 2.562 ton
per hari mulai tahun ini dengan menggandeng PT Navigat Organic Energy
Indonesia.
”Agar proyek pengolahan sampah berjalan baik dan
layak secara ekonomi, pemda perlu mengalokasikan biaya pengelolaan dan
volume sampah minimal 800 ton per hari. Karena itu, pemda-pemda
sebaiknya membangun TPA regional sehingga kami dapat mengolah sampah
dengan baik dan dapat menghasilkan tenaga listrik untuk dijual dan
mengembalikan biaya investasi,” kata Budiman.
Tentu perlu
komitmen kuat pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mengolah sampah
agar sampah memberi manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan
aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan teknologi, sampah juga dapat
menjadi tenaga listrik yang menerangi jutaan penduduk.
(EVY RACHMAWATI)